Melati Suryodarmo (Studio Plesungan), Moelyono, Armin Septiexan (SkolMus) dan Aprina Murwanti mengulas pengembangan gagasan pedagogi radikal dengan pendekatan seni.
Joseph Beuys mengatakan bahwa “Setiap orang adalah murid, yang berarti seorang pembelajar.” Oleh karenanya, salah satu bagian paling penting yang dikerjakan Beuys semasa hidupnya adalah perannya sebagai seorang pendidik. Beuys adalah seniman-pendidik khas seni pasca perang di Eropa dengan cita-cita melakukan perubahan sosial melalui pendidikan. Beuys mempromosikan proses instruksi kolektif yang bertujuan untuk mewujudkan hubungan yang setara antara guru dan murid, menyerukan “pendidikan semua orang menuju kedewasaan spiritual,” serta “perspektif baru tentang pendidikan, pengajaran, dan penelitian.”
Terinspirasi dari pemikiran ini, diskusi ini hendak membaca pengembangan gagasan pedagogi radikal dengan pendekatan seni di Indonesia oleh beragam generasi seniman-pendidik-peneliti. Para praktisi pendidikan non-formal ini akan berbagi tentang gagasan, urgensi, metode, serta proses pembelajaran yang telah dilaksanakan hingga saat ini melalui presentasi salah satu proyek mereka.
Moelyono merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam wacana seni dan pendidikan sejak tahun 1980-an. Proyeknya dengan metode Early Childhood Care and Development (ECCD) telah tersebar di berbagai lokasi di Indonesia, serta dihadirkan sebagai proyek seni dalam berbagai pameran seni rupa.
Sekolah MUSA (Multimedia untuk Semua), didirikan pada 2011 di Kupang. Dikenal pula sebagai Skolmus, mereka berfokus pada edukasi di bidang fotografi, videografi, dan upaya pelestarian memori kolektif melalui pengarsipan digital arsip publik serta kolaborasi lintas disiplin ilmu.
Studio Plesungan didirikan pada tahun 2012 di Surakarta oleh Melati Suryodarmo. Hingga kini ia telah menjadi laboratorium bagi para pelaku seni khususnya di bidang seni performans, tari, teater, sastra, musik dan seni rupa. Studio Plesungan mengutamakan visi-visi seni kontemporer yang berkaitan dengan alam, lingkungan sosial, dan sejarah; serta menstimulasi pertukaran kritik dan pengetahuan tentang seni yang kontekstual.
Konteks seperti apa yang melatarbelakangi munculnya gagasan pembentukan proyek dan model pendidikan yang mereka akan presentasikan? Apa nilai-nilai penting yang ditanamkan selama proses pembelajaran dilaksanakan? Bagaimana mereka memposisikan praktik pendidikan yang sedang dikerjakan dalam dunia pendidikan di Indonesia? Potensi apa saja yang bisa dikembangkan untuk memperluas praktik pendidikan yang mereka jalani di masa depan?
MOELYONO
menempuh pendidikan Jurusan Seni Lukis di Fakultas Desain dan Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sejak tahun 2000 hingga sekarang, Moelyono menjadi fasilitator dan konsultan program ECCD (Early Childhood Care and Development) di beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dan program independen di berbagai daerah di Jawa Timur, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, dan Timor Leste.
Beberapa pameran terakhir yang telah diikutinya antara lain “GEMES” pameran bersama, RUBANAH Underground Hub, Jakarta (2020); Biennale Jogja XV 2019: “Do we live in the same playground?”, Jogja National Museum, Yogyakarta (2019); “Noken”, Dhaka Art Summit, Bangladesh; Para Site, Hongkong; TSI Yangon, Myanmar; Museum of Modern Art in Warsawa, Polandia, (2018-2020); Bangkok Art Biennale: “Beyond Bliss”, Thailand (2018); Europalia Indonesia, Performance Klub: “My Life as A Drawing Teacher: On Art and Activism”, SMAK, Gent, Brussel (2018); “Amok Tanah Jawa” Flinders Museum, Adelaide, South Australia, (2018).
Moelyono juga pernah dianugerahi penghargaan Lifetime Achievement Award, Biennale IX, Yogyakarta (2012); Hadiah Seni, Gubernur Jawa Timur (2001); dan Ashoka Fellowship Inovators for Public, Yayasan Ashoka Indonesia (1989-1992).
MELATI SURYODARMO
dikenal sebagai seniman durational performance dari Indonesia. Pertunjukannya yang secara fisik berat kerap menggunakan gerakan berulang dan berlangsung selama beberapa jam sehingga kadang-kadang mencapai “tingkat absurditas faktual”. Suryodarmo telah tampil dan mengadakan pameran di Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Ia kelahiran Surakarta, meraih gelar sarjana hubungan internasional di Universitas Padjadjaran di Bandung sebelum pindah ke Jerman. Saat tinggal di sana selama 20 tahun, ia mendalami seni performans di Universitas Seni Braunschweig di bawah bimbingan koreografer Butoh Anzu Furukawa dan artis performans Marina Abramović. Melati kemudian kembali ke Indonesia dan meluncurkan Undisclosed Territory, sebuah festival tahunan untuk seni performans. Ia perempuan pertama yang menjadi direktur artistik Jakarta Biennale. Melati juga mendirikan Studio Plesungan di Surakarta, tempat ia tinggal, sebagai ruang mengeksplorasi diri sendiri dan membina seniman dan koreografer muda.
ARMIN SEPTIEXAN
merupakan salah satu member SkolMus yang dipercayakan menjadi ketua komunitas sejak 2017. Saat ini bersama teman-temannya merintis program Merekam Kota, sebuah proyek jangka panjang Pengarsipan Publik yang partisipatif untuk mengajak warga kota terhubung dengan kotanya dalam konteks memori, ruang dan imajinasi. Secara personal, Armin banyak terlibat sebagai seniman multimedia dan fillmmaker yang berfokus pada isu sejarah dan kebudayaan kota.
APRINA MURWANTI
adalah peneliti, edukator dan konsultan profesional yang memiliki pengalaman praktik edukasi seni serta pengelolaan program sosial dalam berbagai lanskap. Aprina merupakan dosen tetap Prodi Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta dan dosen tamu di berbagai universitas di dalam dan luar negeri, ia mendapatkan gelar Ph.D. bidang Creative Practice in Contemporary Art dari University of Wollongong dan Sarjana Desain Kriya Tekstil dari Institut Teknologi Bandung.
Meskipun bekerja pada institusi formal, Aprina percaya pada kekuatan pendidikan non-formal dan edukasi publik, ia ingin seni rupa lebih mudah diakses masyarakat sehingga bergerilya menjalankan berbagai program di luar kampus. Bersama rekannya, Fauzy Prasetya, Aprina kini mendirikan ID/Aptitude, sebuah firma konsultasi bidang kurasi edukasi, capacity building dan kebijakan publik yang menjangkau dan mempertemukan pemerintah, organisasi internasional, museum, hingga komunitas di pelosok pedesaan.
Aprina pernah bekerja sebagai Kepala Edukasi dan Program Publik di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) pada tahun 2018 hingga 2021, dan saat ini mendapatkan kesempatan sebagai International Board Member of Education Advisory Panel untuk National Gallery of Singapore (2020 -2022).***