Penulis: Erlin Mali (Sumba Timur)
Sore itu matahari kemarau sedang perlahan turun ke peraduannya, menimbulkan kilau cahaya keperakan di aliran sungai Kambaniru. Di pinggiran sungai beberapa orang anak muda sedang memancing sambil bersenda gurau.
Tidak jauh dari aliran sungai, seorang perempuan tua duduk di bale-bale bambu di belakang rumahnya. Rumah yang nampak dibuat terburu-buru itu berlantai tanah, berdinding gedek dan beratap seng.
Hanya ada dua ruangan sempit yang digunakan sebagai kamar tidur dan ruangan serba guna. Tidak ada dapur. Tungku berada di luar rumah, sementara perlengkapan dapur digantung begitu saja di dinding.
Ngana Toku, perempuan itu, sedang memandangi hamparan galian tanah putih di hadapannya. Sebentar-sebentar perempuan berusia 60 tahun itu terbatuk-batuk sembari menghela napas berat. Di sana-sini berserakan tumpukan kerikil dan kawat beronjong yang berdebu.
Sekitar 100 meter dari rumahnya, para buruh sedang sibuk membangun kembali Bendungan Kambaniru yang jebol akibat terjangan Siklon Seroja, awal April lalu.
Sebelum badai, lokasi galian tanah putih itu adalah kebun sumber penghidupan Ngana Toku dan suaminya, Darius Lapu Ndakunau. Di kebun seluas lebih dari satu hektare itu terdapat ratusan pohon pisang dan beberapa jenis sayuran seperti kacang panjang, buncis, kol, sawi, tomat dan cabe yang siap dipanen.
Badai Siklon Seroja 4 April 2021 yang mengakibatkan banjir bandang telah meluluhlantahkan seluruh kebun dan menghanyutkan rumah Ngana Toku. Harta benda mereka hanyut oleh banjir, hanya satu peti berisi pakaian dan surat-surat berharga yang dapat diselamatkan. Ngana Toku dan suami sendiri menyelamatkan diri ke rumah keluarga di lokasi yang lebih tinggi.
“Waktu lihat itu rumah kena bawa banjir, rasa macam lihat kita punya anak meninggal. Hilang semua sudah” kata Ngana Toku dengan sorot mata yang sendu.
Bendungan Kambaniru dibangun pada tahun 1992. Bendungan yang dibangun dengan biaya APBN dan pinjaman luar negeri dari Asian Development Bank senilai 15 milyar itu terletak di Desa Malumbi, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur. Bendungan ini membendung Sungai Kambaniru yang hulunya berasal dari Gunung Wanggameti.
Selama 28 tahun Bendungan Kambaniru telah mengairi 1440 hektare lahan persawahan di Kelurahan Mauliru, Kelurahan Kawangu dan dan Kelurahan Kambaniru. Persawahan ini adalah sumber penghidupan warga di tiga kelurahan tersebut yang sebagian besar adalah petani.
Sementara itu beberapa lokasi di sekitar bendungan yakni Desa Kiritana, Kelurahan Malumbi dan Kelurahan Lambanapu memanfaatkan aliran air bendungan untuk budidaya holtikultura. Ketiga wilayah ini menjadi pemasok sayur terbesar bagi Kota Waingapu dan sekitarnya. Namun kini pasokan sayur dari Lambanapu terhenti. Para penghasil sayur ulung kini terpaksa membeli sayur. Sesuatu yang tak pernah terjadi sejak aliran air bendungan mulai digunakan untuk menanam sayur sejak tahun 2002.
Di bale-bale itu, Ngana Toku mengenang kehidupannya sebelum terjangan Siklon Seroja. Pada sore hari biasanya ia sibuk menyiram tanaman dan memanen beberapa jenis sayuran untuk dibawa ke Pasar Inpres Matawai di kota Waingapu di saat subuh. Kini sudah lima bulan rutinitas itu terhenti. Siklon Seroja telah menghanyutkan, bukan saja sumber pendapatannya, tapi juga rutinitas yang telah diakrabinya selama belasan tahun. Ada kegetiran dalam nadanya saat bercerita, tapi juga pasrah, sebab waktu tak bisa diputar kembali.
“Sekarang mau ambil uang di mana untuk biayai anak yang kuliah, untuk makan setiap hari saja susah”, tutur Ngana Toku. Anak bungsunya sedang kuliah di Yogyakarta dan akan segera diwisuda pada bulan Oktober. Namun belum ada serupiah pun biaya wisuda.
“Biasanya kalau anak minta uang 500 ribu, kami hanya perlu potong pisang lima tandan trus bawa pi pasar, setelah laku langsung kirim uang. Sekarang tidak bisa begitu lagi”.
Kepala Desa Kiritana, Jhonson Dena Tola mengatakan, jebolnya Bendungan Kambaniru adalah pukulan berat bagi perekonomian warga di sekitarnya. “Masyarakat selama ini menggantungkan hidupnya dari aktivitas bertani, baik tanam padi jagung dan holtikultura. Dengan rusaknya ini bendungan, sembilan puluh persen masyarakat kehilangan pendapatan. Mau pergi kerja di luar daerah juga, COVID lagi ganas,” kata pria berusia 51 tahun yang telah menjadi Kepala Desa Kiritana selama dua periode.
Sebagaimana warga Desa Kiritana pada umumnya, Ngana Toku dan suaminya kini sama sekali tidak dapat lagi menanam sayur. Sebagian lahan yang biasa ditanami sudah runtuh ke sungai, sebagian lagi tertimbun pasir setinggi dua meter.
Namun Ngana Toku dan suaminya menolak untuk menyerah. Mereka kini menanam tembakau dan tomat di tanah yang masih tersisa. Tidak banyak yang bisa ditanam. Selain karena lahan sempit juga sulit untuk mengambil air. Setiap hari suaminya harus menuruni sungai yang curam untuk menimba air untuk menyiram tomat dan tembakau. Ini sangat tidak mudah bagi kedua suami istri berusia senja ini.
Semangat yang sama terukir di sanubari seorang warga yang lain, Daniel Domu Pabundu. Suatu siang di pertengan bulan September 2021, ia sedang sibuk bekerja di kebun yang luasnya tak seberapa dan tepat berada di samping reruntuhan Bendungan Kambaniru. Di kebun itu terdapat beberapa jenis sayuran seperti kangkung, sawi, tomat, mentimun dan pare yang tumbuh cukup subur namun berbalut debu.
Untuk menyirami tanaman-tanaman tersebut, Daniel memanfaatkan air ledeng yang alirannya sangat kecil dan sering macet. Ia menampung air di sebuah wadah lalu menimba dengan ember untuk disiram ke tanaman.
“Begini sudah kami punya hidup sekarang, tanah sudah kena bawa banjir dan juga susah air. Tapi mau bilang apa lagi, semua su terjadi,” katanya.
Meski lebih dari sebagian besar lahannya telah terbawa banjir, pria berusia 52 tahun yang belakangan sering menjadi buruh kasar di proyek pembangunan kembali Bendungan Kambaniru ini tak kapok untuk kembali menanam. Ia harus menghidupi istri dan keempat orang anaknya.
“kita coba-coba saja, soalnya ini sudah jadi kebiasaan sejak dulu. Masih ada sisa tanah sedikit, kerja saja walaupun hanya untuk makan sendiri dan tidak jual macam dulu lagi,” katanya.
Ia sangat bersyukur karena rumahnya tidak terbawa banjir seperti warga lain.
“Masih banyak yang lebih susah dari saya, jadi saya tidak mau banyak mengeluh,” katanya lagi.
Kisah Ngana Toku dan Daniel Domu Pabundu adalah kisah khas sebagian besar warga di sekitar Bendungan Kambaniru hari-hari belakangan ini. Tanah yang dulu menghijau oleh beragam tanaman kini gersang bermandi debu. Selokan-selokan yang dulu berair kini kering dan bersemak. Persawahan telah kerontang menjadi tempat melepas ternak. Siklon Seroja telah mengubah banyak hal dalam kehidupan orang-orang di hilir Bendungan Kambaniru.
Meski demikian, kehilangan harta benda tidak berarti kehilangan harapan. Beberapa orang kembali bertani, meski di lahan yang sempit dan tandus. Ada yang menuruni sungai yang curam untuk menimba air, ada juga yang menggali sumur sembari menantikan pembangunan bendungan yang diprediksi rampung pada akhir tahun 2021 ini.
Sore itu, di bale-bale bambu rumahnya, Ngana Toku mengatakan keluarganya tidak mungkin berhenti bertani.
“Kami su jadi petani dari dulu. Sekarang kami berharap ini bendungan bisa cepat jadi biar kami bisa kembali tanam sayur biar tanah tidak luas macam dulu lagi”. Di matanya masih ada harapan, galian tanah putih di hadapannya akan kembali menghijau seperti sebelum terjangan Siklon Seroja.
Kedahsyatan bencana alam memang dapat meluluhlantahkan segalanya, tetapi tak dapat memupus harapan di dada orang-orang yang menolak untuk menyerah.***
————– ——————
Tulisan ini merupakan salah satu bentuk menjaga ingatan sosial warga dalam mengingat dan mendokumentasikan peristiwa Badai Seroja yang menghantam Nusa Tenggara Timur pada 04 April 2021. Kelas jurnalisme warga Seroja dalam Aksara berlangsung selama sebulan dengan mentor utama Matheos Viktor Messakh, mentor tamu Dian Herdiany (Yogyakarta) & Andreas Harsono (Jakarta).