Bilik Migran mempertemukan kita dengan sosok Madonna, Linda dan Netta yang sering kita jumpai di sekitar kita. Mereka berada pada keterbatasan pilihan, terkadang gelap, seperti bilik hitam yang menjadi tempat melihat dan merasa kerumitan permasalahan yang dihadapi PRT dan juga anak tinggal, yang tidak asing bagi masyarakat Kota Kupang.
Isu eksploitasi tenaga kerja bukan isu yang baru pertama kali disuarakan, atau diadvokasi di Timor. Mulai dari eksploitasi oleh anggota keluarga hingga dalam bentuk ekstrem serupa migrasi berisiko dan perdagangan orang. Kondisi ini merupakan sebuah gejala yang mengindikasikan sebuah krisis tak teratasi dalam sebuah masyarakat. Di Kota Kupang kondisi ini nyata. Kata ‘eksploitasi’ kian lama menjadi hambar dalam nuansa pergerakan advokasi maupun arena debat akademik.
Advokasi menjadi sarat jargon yang gagal menyentuh hati nurani, di sisi lain perdebatan akademik tidak bermuara pada penyadaran. Sering kali malah mengalami pemiskinan dalam proses usahanya membuat abstraksi mengenai realita sehari-hari. Alhasil, kebuntuan dalam menguraikan kerumitan realitas yang dihadapi korban PRT selalu terjadi. Celakanya, kegagalan ini jika dikombinasikan dengan kebiasaan merasa perlu tunduk kepada agenda global yang sering kali di kiri dan di kanan tak sesuai konteks lokal, tak jarang tidak banyak memberikan bantuan dalam mengurai kebuntuan.
Di sinilah proses berkesenian dengan nalar artistik yang kemudian disambung dengan proses estetik dalam interaksi kekaryaan dengan penikmatnya diperlukan. Bilik Migran dalam hal ini telah mengambil langkah awal melalui kekhasan nalar seni untuk mulai mengartikulasikan kondisi PRT maupun anak tinggal yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kota, secara khusus di Kota Kupang.
Bilik Migran menjadi langkah awal, artinya masih memerlukan beberapa tahapan selanjutnya untuk mencapai upayanya menjadi sebuah proses seni penyadaran yang berkontribusi pada perubahan sosial. Pada tahap ini, Bilik Migran telah berhasil mengartikulasikan pada level fakta, mengenai kehidupan PRT dan anak tinggal. Selanjutnya, karya ini masih bisa dilanjutkan dengan proses estetik yang memungkinkan adanya dialog dalam penguaraian gejala kebuntuan yang sedang diangkatnya ke permukaan. Artikulasi awal melalui proses artistik Bilik Migran menjadi sebuah pintu masuk proses seni berkepanjangan yang mengalami interaksi dengan penikmatnya hingga menghasilkan uraian baru yang selanjutnya dapat diartikukasikan kembali baik melalui proses penciptaan karya lain di masa depan ataupun dalam upaya penyajian karya Bilik Migran pada penontonnya.
Pada akhirnya, sebuah apresiasi tak dipungkiri perlu diberikan pada proses kreatif yang telah berjalan. Sebagai sebuah karya seni, Bilik Migran bukanlah sebuah hasil penciptaan yang memisahkan diri dari kemelut yang ada di sekitarnya. Inilah sebuah semangat yang perlu dijaga karena seni memiliki pendekatan khas, yang kaya pemaknaan namun cukup universal untuk dapat dimengerti berbagai orang. Hal ini perlu dijaga agar dalam isu-isu yang menjadi urat nadi kesusahan hidup, seni tidak menjadi bisu, terlebih menjadi terasing dan terpisah dari kenyataan hidup sebuah masyarakat.***
Penulis: Lodimeda Kini