Kesaksian Yanti, Gadis Lamanele yang Selamat dari Badai Seroja

Kesaksian Yanti, Gadis Lamanele yang Selamat dari Badai Seroja

Penulis : Gres Gracelia (Lamanele, Adonara)

Seroja, jikapun kata ini dihilangkan dari kamus bahasa, Ia tidak mungkin hilang dari memori orang NTT, khususnya mereka yang hidup sejak tahun 2021. Seroja tertanam dalam ingatan manusia NTT sebagai kata yang mengundang trauma. Kata yang menghadirkan maut, membawa duka lara, mencabut nyawa orang Flobamora. Kisah tentangnya tentu tidak akan pernah hilang dari dalam ingatan sepanjang hidup orang NTT.

Kala itu, 04 April 2021, tepat di hari umat katolik sedunia merayakan Sabtu Suci alias malam Paskah, badai seroja yang ganas itu menghantam Pulau Flores, Lembata, Adonara dan Alor lalu dua hari berikutnya menghajar seluruh pulau di NTT. Hampir tak ada wilayah yang tak disinggahinya. Akibatnya, ratusan nyawa melayang seketika. Tak terhitung jumlah rumah atau bangunan, mata pencaharian dan peliharaan yang menjadi korban amukan badai Seroja. Hari itu, dia seperti malaikat pencabut nyawa yang mempunyai otoritas tunggal untuk mengakhiri ziarah manusia di dunia yang fana ini lalu pergi meninggalkan luka dan duka sepanjang masa bagi mereka yang hidup.

Khusus Adonara, Lamanele, perkampungan yang terletak di bawah kaki gunung Ile Boleng, Kecamatan Ileng Boleng, Flores Timur merupakan bagian yang paling parah. Seperti pencuri, di tengah malam yang kelam itu banjir bandang beserta longsor menyapu seisi kampung yang berada persis di bawah gunung Ile Boleng itu, tepat di saat semua orang tertidur pulas. Meski hanya sebentar, namun dalam hitungan menit 56 nyawa, ratusan bangunan, kendaraan, peliharaan dan matapencaharian hilang. Mereka pergi bersama banjir bandang lalu mati tertanam di dalam lumpur, tertindih bebatuan raksasa yang entah datang dari mana.  Sementara mereka yang hidup terbangun dari antara bebatuan dan bekas reruntuhan bangunan dan rumah-rumah mereka. Mereka menyaksikan kampung yang berubah seperti pekuburan masal, mulut mereka mati, tak ada kata dapat terucap selain air mata yang terus terurai oleh trauma dan kehilangan yang sangat. 

Arah aliran banjir yang turun dari gunung, April 2021. Dok. Gres Gracelia
Situasi di Lamanele, April 2021. Dok. Gres Gracelia

Duka dan luka menganga yang ditinggalkan badai itu terasa masih basah. Air mata belum juga kering hingga detik ini. Rasa takut dan trauma terus menggerogoti setiap korban dan penyintas. Bagaimana tidak, periswita kelam ini tak sekadar meninggalkan luka tetapi juga membawa pergi orang-orang tercinta. Suara tangis meminta pertolongan para korban pada malam itu pun masih terngiang di telinga. Ada rasa bersalah dan penyesalan teramat dalam, karena tak sempat menggapai tangan-tangan yang meminta tolong. Sebab semua orang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri di malam yang begitu gelap. Malam itu teramat gelap tak ada setitik cahaya yang muncul di sana. Cahaya bintang dan bulan terhalau kabut pekat. Orang-orang berlari dengan tuntunan suara tangisan sesama saudara yang selamat.

Semua cerita pilu itu, membawa saya ke sana, ke kaki gunung Ile Boleng. Sebuah Gunung keramat, tempat asal sejarah adanya lewo tanah (Kampung halaman) mahar gading itu pada 25 Agustus, empat bulan pasca bencana. Saya memutuskan mendatangi tempat itu, Desa Lamanele bersama balita perempuan saya yang sedang menyusui. Bertolak menggunakan kapal fery KMP Ile Mandiri, jasa angkutan ASDP NTT dari Pelabuhan Bolok, Kupang. Setelah menempuh penyeberangan kurang lebih 12 jam, kami akhirnya tiba di sana. Kami disambut hangat oleh kenalan, Yuliana Ina Sedon Sina (24) dalam dekapan deraian air mata dan trauma mendalam yang tak lekas tiada. Kedatangan saya bersama buah hati tanpa membawa apa-apa. Kami hanya pergi membawa benih kasih, dengan harapan bisa mengurangi sedikit trauma yang mereka alami. Meski saya sadar, itu sangat tak mudah, butuh waktu dan perjuangan teramat panjang.

Selebihnya, kami bersepakat untuk mendokumentasikan, mengabadikan rangkaian kisah kelam itu dengan mengurut tutur cerita mereka yang menjadi saksi ganasnya badai yang mengambil orang-orang tercinta dari sisi mereka pada malam di mana Yesus, Tuhan yang diimani umat Kristiani bangkit dari kematiannya lalu diabadikan sebagai karya jurnalistik “The Sodara Project ”. Sebuah projek jurnalisme warga,  “Seroja Dalam Aksara” bersama SkolMus.

Di atas kapal, secara tak sengaja saya berkenalan dengan seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi diKota Kupang bernama Oiz Dion. Oiz ternyata menjadi bagian dari orang yang merasa sangat kehilangan akibat Seroja. Salah satu sosok terbaik dalam hidupnya ikut menjadi korban seroja. Bukan orang tua atau keluarga melainkan Bapak kosnya yang ikut jadi korban ketika berlibur paskah di kampung halamannya di Lamanele.

 “Kaka, kami punya Bapak Kos itu orangnya baik sekali. Setiap kali makan pasti panggil dengan kami anak kos. Makan mie juga, kami makan sama-sama. Ae, sedih o. Kami kaget dengar kalau Bapak Kos ini juga jadi korban. Mana istrinya saat itu sedang hamil besar. Sampai sekarang pas ingat, kami kehilangan sekali Kaka e,” ungkap Oiz.

Pertemuan berharga dengan Oiz malam itu membuat saya perlahan-lahan mulai merasakan bagaimana getir hati keluarga yang segera saya temui di Lamanele.

Pukul 08.30 WITA kapal yang membawa kami tiba di Pelabuhan Waibalun, Larantuka. Dari situ, kami  melanjutkan perjalanan menggunakan KMP Arkona menuju pelabuhan Waiwerang. Dari Waiwerang, tanpa istirahat kami langsung menuju Lamanele menggunakan motor ojek. Di sana, Yanti, sosok yang menjadi saksi mata peristiwa maut malam itu, yang menyaksikan bagaimana amukan badai, banjir dan longsor itu seketika memporakporandakan seisi Lamanele menanti kedatangan kami.

Memasuki pintu kampung, segera saya melihat wajah Lamanele yang sendu. Lamanele yang ramai tapi sunyi. Yang cerah tetapi kelam. Di depan gapura pintu masuk, kami dihadapkan pada pemandangan pekuburan masal yang terletak di kanan jalan. Sambil mendaraskan doa, saya melambungkan kata permisi. Sisa reruntuhan bangunan dan bebatuan yang tak terhitung, berserakan di sisi kiri dan kanan jalan.

Yanti yang berusaha mengenali wajah kami, melambaikan tangan dan memanggil kami. Yanti mempersilakan kami masuk ke rumah. Setelah bertegur sapa, setelah isitirahat sejenak, perlahan-lahan kami menyulam cerita tentang kesaksian Yanti pada malam yang kelam itu. Saya menyaksikan, mengajak Yanti untuk memulai cerita saja memang tidak mudah. Sebab, sejak malam itu hingga kami bertemu, Yanti belum pernah membuka mulut kepada siapa pun ke pihak luar tentang suasana dan perasaannya kala itu. Saya beruntung, karena sebelum ke sana, saat masih di Kupang saya kontakan denyan Yanti dan di balik telepon, Ia menyatakan kesiapannya untuk bercerita semua yang Ia saksikan pada malam itu.

Malam Paskah yang Kelabu

Tanggal 3 April 2021, umat kristiani merayakan Malam Paskah di Gereja St.  Bernadeta Rous Puka One. Yanti bersama keluarga dan teman-teman dekatnya turut merayakan misa Sabtu Suci itu. Sore itu mereka ke Gereja berjalan kaki, karena jarak gereja tak jauh dari kediaman mereka. Hanya butuh 20 menit, sudah sampai di Gereja.  Perayaan ekaristi (misa) dimulai tepat pada Pukul 18.00 WITA. Saat misa dimulai sudah ada gerimis. Bagi Yanti maupun umat lainnya itu hanya gerimis biasa seperti yang terjadi di hari-hari sebelumnya. Tak ada tanda atau isyarat bahwa gerimis itu akan berujung pada bencana luar biasa.

Usai misa, Yanti bersama Ria Ina Mukin, sahabat yang juga berstatus sebagai Mama Kecilnya itu pose  bersama di altar. Yanti tidak pernah menduga bahwa itu akan menjadi kenangan terakhirnya bersama Ria.

Sepulang Gereja, Yanti masih bertemu dan berinteraksi  dengan beberapa kerabat yang pada akhirnya, juga menjadi korban seroja. Malam itu, mereka (Yanti dkk bersama keluarga) melewati perisitiwa kebangkitan Kristus  dengan penuh sukacita.

Malam sudah larut, Yanti mengakhiri kebersamaannya dengan teman-teman sekampungnya itu, Ia kembali ke rumah. Di rumah, kakek dan neneknya sudah terlelap. Yanti pun masuk ke kamarnya. Ia duduk sambil main handphone. Sementara adik sepupunya sudah berbaring dan hampir terlelap. Di ruangan depan ada adik laki-laki Yanti dan adik perempuannya tidur beralaskan kasur di lantai.

Yanti hampir terlelap, tiba-tiba hujan lebat mengguyur seisi kampung. Listirik pun seketika padam. Perasaan Yanti mulai tidak enak. Ada rasa takut yang menghantui perasaannya. Namun Ia tetap yakin bahwa itu hanya hujan biasa. Di layar handphonenya menunjukkan pukul 00.30 WITA. Hujan yang mengguyur kian lebat membuat Yanti enggan tidur. Rasa takut kian mengantui. Ia membangunkan adik sepupunya tetapi sepupunya terlanjur pulas.

Yanti kembali berbaring sambil berusaha menenangkan dirinya. Tidak lama berselang, Yanti mendengar gemuruh besar di sekeliling rumah. Dia membangunkan sepupunya yang tidur mati sambil berteriak kencang untuk  membangunkan seisi rumah. Suasana rumah Yanti waktu itu sudah lain. Ia merasa seperti sedang dalam sebuah kapal yang sedang dihantam badai di tengah laut. Oleng.

 “Kaka, saya rasa macam sedang di atas kapal, situsinya seperti di tengah laut. Karena oleng yang saya rasa di dalam rumah, air bisa buat rumah seperti oleng begitu, Ka,” kisah Yanti.  

Yanti Panik. Ia berjalan ke luar dari pintu kamarnya dan membangunkan kedua adiknya yang sedang nyenyak ruangan depan. “Hogo… hogo ki kah” yang artinya, “bangun, bangun dulu kah,” teriak Yanti menggoyang badan adik-adiknya. Semua pun terbangun.

Saat mereka terbangun, air beserta lumpur dan sampah mulai masuk dan menggenangi rumah mereka. Hanya dalam hitungan detik ruangan tamu runtuh. Yanti pun langsung berlari ke kamar Kakek dan Neneknya. Dari pintu kamar, Ia mendapati nenek sudah berlumuran darah. Kepalanya tertimpa reruntuhan bangunan rumah mereka. Ia pun berusaha untuk menyelamatkan sang kakek dan nenek, tetapi sang adik menahannya. Jarak antara pintu kamar dan tempat tidur kakek dan neneknya yang sejengkal seakan jauh di tengah kegentingan malam itu. Yanti hanya bisa menangis ketakutan, neneknya yang renta tak berdaya. Tetapi Yanti harus memilih, bertahan dan mati atau pergi meninggalkan kakek nenek dan selamat. Dua pilihan ini memang sama berat dan idak adil bagi Yanti, tetapi Ia harus memilih.

Ae e, tite nih selamat hala kae nih, (Kayaknya kita tidak selamat ini),” teriak adik laki-laki Yanti.

Dengan sangat terpaksa mereka berusaha membuka pintu belakang lalu berhamburan ke luar rumah. Suasana di luar rumah gelap gulita, sementara lumpur yang diseret banjir kian menumpuk. Tak ada seorang pun yang mereka temukan pun tak ada jalan yang mereka kenali. Semua tempat sudah tergenang banjir. Tumpukan lumpur dan batu-batu ukuran raksasa berserakan di mana-mana. Sementara banjir sudah melewati pinggang.

Salah satu rumah warga yang terkena dampak Seroja, April 2021. Dok. Gres Gracelia

Dengan sisa kekuatan yang ada, mereka berjuang untuk menyelamatkan diri ke rumah Bapak Kecil Yanti. Di sana sudah berkumpul keluarga yang sudah berhasil menyelamatkan diri. Tangisan haru pun pecah di rumah Bapak kecil, mereka saling berangkulan, sebab keluarga yang berkumpul di situ sudah berpikir kalau Yanti dan adik-adiknya sudah tak selamat lagi. Mereka semua kemudian mengungsi ke Belile, sebuah bukit kecil di Lamanele yang kerap menjadi titik kumpul warga saat dalam situasi genting.

Sebelum menuju Bukit, Yanti enggan mengangkat kaki. Ia masih terbayang dengan wajah Kakek dan Nenek yang berluluran darah dengan kamar yang penuh lumpur. Ia merasa sangat bersalah karena tak sempat menyelamatkan Kakek dan Nenek. Dua sosok yang membesarkan yanti dan adik-adiknya karena Ayah Ibu mereka merantau. Dalam hati Yanti bergumam, lebih baik mati bersama Kakek dan Nenek daripada hidup tanpa sosok yang menggantikan peran Ayah Ibu mereka selama ini. Bujuk rayu keluarga, termasuk Bapak kecilnya agar segera menyelamatkan diri ke bukit tak digubrisnya. Yanti bersikeras tidak akan meninggalkan tempat itu tanpa kakek dan nenek.

“Kaka Ge… Kami kan Bapa dan Mama pergi merantau kasih tinggal kami dengan Kakek dan Nenek. Kami semua dibesarkan juga dengan Kakek sama Nenek. Yang saya pikir malam itu, saya belum bisa buat apa-apa untuk Kakek sama Nenek bahkan untuk selamatkan mereka saja saya tidak bisa. Rasanya lebih baik saya yang mati saja,” ujar Yanti dengan air mata berkaca-kaca.

Setelah diberi pemahaman oleh Bapak kecilnya, dengan terpaksa Yanti ikut ke Belile. Sampai di bukit, suasana perlahan aman. Bapak kecil Yanti memutuskan pergi melihat Kakek dan Nenek. Sampai di rumah, Ia mendapati Ibu dan Bapaknya (kakek dan nenek Yanti) saling berpelukan tak berdaya. Mereka selamat, meski badan sudah dipenuhi lumpur dan wajah berlumuran darah.

Di Belile, Yanti mulai melihat satu persatu wajah keluarga yang ada di situ dan yang tidak ada. Hatinya mulai hancur ketika sampai kembali ke kediaman mereka, Ia tak juga temukan keluarga-keluarga yang tak ada bukit Belile.

“Saya kehilangan Nana Suban, orang yang selalu menyemangati saya untuk sekolah tinggi agar bisa jadi orang banggakan mama, Bapa dan bisa berbuat untuk lewo tana (Kampung halaman). Om yang selalu menasehati saya untuk selalu rendah hati. Om yang sangat baik untuk mendukung sekolah saya.   Saya juga kehilangan  Kaka Tres, tetangga kami yang pergi bersama anak-anaknya, orang yang sangat berjasa bagi kami yang tak punya orang tua dekat di sini. Saat kami bertengkar di rumah karena tidak ada makanan, saat kami kehabisan sabun mandi, saat mau goreng ikan dan kami kehabisan minyak goreng, odol habis, beras habis, Kaka Tres orang pertama yang selalu teriak kami untuk ambil di rumah. Atau saat kami tak ada uang, dia orang pertama yang membantu kami.  Tapi sekarang mereka semua sudah tidak ada,” tutur Yanti sambil mengusap air matanya.

“Saya juga kehilangan Nana (Om), Wae (Tanta) dan semua yang sangat berarti untuk saya dan adik-adik di sini. Salah satunya, Ria. Yang adalah sahabat dekat saya, Mama kecil saya yang juga pergi  bersama semua rumpun keluarga besarnya tanpa pesan satu katapun,” lanjut Yanti mengisahkan.

“56 orang pergi itu semua saudara dan keluarga semua Kaka Ge,” sambung Yanti penuh isak tangis.

Pekuburan Masal di Lamanele, April 2021. Dok. Gres Gracelia
Portrait Yanti, April 2021. Dok. Gres Gracelia

Kala itu, sudah hampir empat bulan berlalu, Yanti dan orang-orang yang selamat dari bencana itu masih berjuang untuk bangkit dari trauma yang dihadapinya. Hidup tetapi dengan merasakan  kehilangan orang-orang terkasih. Belum lagi, mereka harus menanggung beban karena mendengarkan sumpah serapah sebagian masyarakat yang melihat peristiwa bencana ini secara kontradiksi. Semua yang dialami oleh Yanti, membuatnya sangat susah untuk berdamai dengan keadaan pasca bencana.

“Ini cerita duka yang akan selalu saya bawa dalam ingatan selama hidup saya,” tutup Yanti.

(Bersambung…)

————– ——————

Tulisan ini merupakan salah satu bentuk menjaga ingatan sosial warga dalam mengingat dan mendokumentasikan peristiwa Badai Seroja yang menghantam Nusa Tenggara Timur pada 04 April 2021. Kelas jurnalisme warga Seroja dalam Aksara berlangsung selama sebulan dengan mentor utama Matheos Viktor Messakh, mentor tamu Dian Herdiany (Yogyakarta) & Andreas Harsono (Jakarta).