“ini adalah peringatan”
Mengingat 25 Tahun Reformasi
Ifana Tungga, Melati Lobo, Yosafat Hana, Frengki Lollo, Armin Septiexan
“Pameran ini bukan (sekadar) tentang reformasi. Juga tidak dalam rangka menguatkan glorifikasi, apalagi pada titik ketika kehidupan kita sekarang masih terus bergelut memperjuangkan demokrasi,” demikian pembuka bagi pernyataan pameran yang akan tersebar di beberapa ruang Mantrijeron dalam Februari Maret mendatang. Pameran berjudul Mengingat 25 Tahun Reformasi ini melibatkan 33 seniman dari berbagai generasi dan konteks budaya-politik di Indonesia
Pameran ini bisa jadi lebih diinisiasi untuk menjadi ruang yang mempertemukan beragam ingatan tentang sebuah masa yang telah mengubah banyak hal dalam kehidupan individu maupun kita sebagai warga sebuah bangsa. Proyek ini membicarakan penanda dalam titi mangsa ini bersama para seniman dari beragam latar belakang dan berlainan generasi. Bagaimana sebuah peristiwa dalam sejarah dapat melahirkan tafsir yang berbeda, dikenang dengan cara yang tak sama, dan membangun percakapan yang bisa membawa kita ke segala arah?
——————————————————————————————————————-
Kota Kupang adalah kota para pendatang—titik bertemu etnis-tenis daerah Nusa Tenggara (Bali, NTB dan NTT) dan daerah lain di bagian timur Indonesia. Pluralitas ini mengumpulkan perbedaan orientasi politik, struktur sosial dan kelas ekonomi yang berbeda. Namun juga memunculkan irisan sejalan perkembangan waktu.
Pada tanggal 30 November 1998, terjadi konflik massal yang melibatkan identitas agama dan etnis. Agama Kristen sebagai mayoritas, yang terdiri dari beberapa etnis, berkonflik dengan Agama Islam sebagai minoritas yang didominasi etnis Bugis. Antara rekayasa dan spontanitas, keduanya bercampur aduk menjadi kabur dan tidak terdeteksi penyebab terjadinya konflik. Namun, munculnya konflik menjadi bukti terpendamnya bom waktu yang siap meledak kapan pun di daerah ‘Nusa Tinggi Toleransi’. Ketika akar penyebab konflik belum menyentuh titik adil “imajiner” maka kita akan mendapatkan kabar duka tanda peringatan “Kematian Reformasi”.
Kekecewaan individu maupun golongan terhadap bentuk permasalahan dalam hubungan sosial akan sentimen agama maupun etnis sudah tumbuh subur sejak lama, tetapi selalu ditutupi dan tidak ada penyelesaian selama masa Orde Baru yang pemali membicarakan masalah SARA. Sehingga, ketika memasuki masa transisi –hingga berganti ke Era Reformasi- terjadi konflik dengan berbagai desain di antara masyarakat. Kemudian, seorang bijak layak bertanya-jawab retorika, “Apa yang mempersatukan Indonesia? Suku, agama, golongan ataupun filsafat? Tapi kita memiliki Bhinneka Tunggal Ika, bukan? Lalu, mengapa berkonflik?”
Ilustrasi yang tercetak pada kain dan mural adalah “Per-Ingatan Reformasi”. Ini merupakan hasil temuan Tim SkolMus mengenai peristiwa Reformasi yang terjadi di Kota Kupang. Trauma mendalam akan peristiwa itu diharapkan tidak terjadi lagi, apalagi menunggangi isu “mayoritas” ataupun “minoritas.” Warga menumbuhkan budaya toleransi dan solidaritas antar agama dengan berpegang pada kalimat “Mau Islam, Mau Kristen, Semua Korban.”
SkolMus juga membuat “Berita Kematian Reformasi” yang tercermin pada kolase baju, artikel dan jaket: “Di tembok-tembok rumah, warga yang tak bersalah menyematkan simbol-simbol perlindungan diri dari satu penganut mayoritas. Salib artinya kita sama, kita tidak berbeda, jangan jarah kami. Tapi kebebasan yang diwariskan Reformasi juga wangi di Timur pulau Timor, ketika rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dan berganti jadi Leste.