Penulis: Yose Bataona (Adonara)
Matahari belum berada tepat di atas kepala, tetapi panasnya terasa begitu menyengat. Agnes Sogen (55), warga Dusun Kewuka, sedang kembali ke rumahnya yang sudah hancur untuk memungut biji mente yang berjatuhan di lahan bekas rumahnya itu. Sesekali tangan dan kakinya digigit semut saat memisahkan biji dari pangkal buahnya. Bebijian mente itu dikumpulkannya dalam sebuah ember merah kecil. “Hasil dari biji mente ini bisa bantu bayar uang sekolah kedua putri saya di Larantuka” katanya.
Pohon mente itu satu-satunya harta yang tersisa baginya. Rumahnya telah tersapu rata diterjang banjir bandang pada April yang lalu. Sekurangnya ada dua belas rumah yang rusak karena berada di tepi bantaran kali.
Dusun Kewuko adalah salah satu wilayah yang terkena bencana di Adonara. Bencana bermula dari kali di batas timur dusun. Hujan berhari-hari telah membawa air yang deras dari atas gunung. Debit air di “kali mati” tersebut pun meningkat secara drastis. Puncaknya pada tengah malam (04/04/21) air tersebut meluap secara deras dan memasuki perumahan warga.
Begitu banyak kerusakan fisik yang terjadi karena banjir tersebut menyeret pula pepohonan dan bebatuan besar dari gunung. Akses jalan sempat tertutup tanah langsur dan tiang-tiang listrik pun sampai jatuh. Pukulan paling berat bagi dusun Kewuko ialah karena ada tiga warganya yang menjadi korban jiwa.
Satu di antaranya ialah Jose Moron, suami dari Agnes Sogen. Jose Moron dan keponakannya Panus Kolin ditemukan beberapa hari kemudian di laut, tersangkut di jaring mutiara. Sedangkan Rikus, ketua stasi St. Arnoldus Janssen, menjadi korban yang hilang sampai saat ini.
Seusai mengumpulkan biji mente tersebut, Agnes Moron pun pulang ke kediamannya yang sementara. Sebuah rumah semi permanen yang dibangun pada lahan di bagian belakang dusun. Sebenarnya saat ini sudah sedang dibangun perumahan untuk para warga yang terdampak banjir tersebut. Namun, karena proses pengerjaan yang masih berjalan, sehingga para warga tersebut tinggal pada pondok-pondok semi permanen tersebut.
Ketika Agnes Moron sedang membuat teh, Rin Kolin (50), istri dari Rikus, datang membawa sepirin pisang rebus. Ia juga baru saja selesai membersihkan halaman di sekitar pondoknya yang ditanami pohon kelor yang masih muda.
Ia turut menceritakan perihal pencarian suaminya yang hilang tersebut. Upaya pencarian telah digalakkan, baik dengan penggalian di bantaran kali serta penyelaman di lautan sekitar, tetapi tidak membuahkan hasil.
“Kadang sewaktu bekerja di kebun atau hanya duduk sendiri, kami teringat kembali peristiwa tersebut. Rasanya kami seperti orang yang bingung dan tidak tahu mesti berbuat apa” jelas Rin Kolin.
Rofin Lamen (44) kepala dusun Kewuko berkata bahwa trauma pasca bencana ini sungguh dirasakan oleh setiap warganya, baik usia muda maupun usia dewasa. Hal ini dikarenakan baru pertama kali terjadi di dusun Kewuko. Menurutnya orang dewasa mungkin lebih bisa mengolah rasa takut dan trauma tersebut, tetapi tidak bagi anak-anak yang masih kecil.
Geneku Moron (61) salah satu warga yang bagian depan rumahnya jebol diterjang banjir juga berpendapat demikian. “Anak-anak kalau dengar bunyi hujan setetes saja di seng langsung takut. Mereka minta supaya kami segera mengungsi ke atas bukit” katanya.
Selain persoalan trauma ini, segenap warga dusun juga membutuhkan pemugaran ulang pada jembatan yang lama. Konstruksi jembatan dengan sebuah tiang penyanggah di bagian tengahnya membuatnya cepat tersumbat sewaktu bencana tempo lalu. Akibatnya air meluap hingga ke pemukiman warga. Selain itu, bekas banjir kemarin yang membawa banyak pasir dan bebatuan membuat kali tersebut menjadi landai dan erosi pada bagian tepinya.
“Kami butuh tindak lanjut untuk perbaikan pada jembatan ini. Pengerukan pada dasar kali serta pembuatan bronjong batu pada tepiannya. Kami khawatir bila hal ini tak ditangani sejak dini, bisa jadi banjir bandang akan terulang di musim penghujan nanti” ungkap Rofin Lamen, ketua dusun Kewuko.***
————– ——————
Tulisan ini merupakan salah satu bentuk menjaga ingatan sosial warga dalam mengingat dan mendokumentasikan peristiwa Badai Seroja yang menghantam Nusa Tenggara Timur pada 04 April 2021. Kelas jurnalisme warga Seroja dalam Aksara berlangsung selama sebulan dengan mentor utama Matheos Viktor Messakh, mentor tamu Dian Herdiany (Yogyakarta) & Andreas Harsono (Jakarta).