Fotografi, Pendidikan & Keberpihakan

Fotografi, Pendidikan & Keberpihakan

SkolMus berbincang bersama Syamsudin Ilyas (Pendiri Kelas Jurnalis Cilik)

Di awal bulan Mei 2020 dan dalam rangka merayakan hari Pendidikan Nasional, Armin Septiexan mewakili SkolMus berkesempatan melakukan wawancara dengan Syamsudin Ilyas, pendiri Kelas Jurnalis Cilik (KJC) yang berbasis di Jakarta. Wawancara dilakukan  melalui telepon karena jaringan internet yang terkadang tidak stabil didaerah kami masing-masing.

Pukul 17.00 WIB, sesuai janji, saya menelpon pria yang akrab dipanggil Ilyas, namun nomor yang dituju tidak aktif. Sempat gelisah dan berpikir tertunda. Hingga 30 menit berlalu, setelah dicoba berulang kali,akhirnya  jaringan kami terhubung.

Halo Kaka Ilyas, apa bisa ditelpon sekarang?” kata saya.

Iya, bisa Kaka…” jawab Ilyas bercampur dengan suara bising keramaian.

Rupanya kediaman Ilyas sore itu sedang dipenuhi anak-anak yang sedang bersiap berbuka puasa bersama. Alhasil wawancara pun diundur hingga satu jam. Saya pikir tak masalah. Toh akhirnya  wawancara pun berlangsung lancar dan menyenangkan.

Saya ingat pertama kali berjumpa Ilyas di salah satu festival foto internasional di Jakarta. Sosoknya sederhana dengan topi newsboy cap yang tidak pernah dilepaskan dari kepalanya. Ia selalu antusias ketika menceritakan Kelas Jurnalis Cilik yang dibangunnya susah payah bersama kawan-kawannya di Cilincing, Jakarta Utara. Antusiasme itu tercermin dari jawaban-jawabannya ketika interview singkat bersama Armin Septiexan di bawah ini.

Suasana belajar KJC @kelaspesisir

Armin (A): Kelas Jurnalis Cilik, nama ini menarik sekaligus membikin penasaran, bisa ceritakan dari mana dapat ide dan gagasan nama ini?

Ilyas (I): Nama awal bukan ‘Jurnalis Cilik’, awalnya ‘Wartawan Cilik’. Tapi ada beberapa saran dari teman-teman kalau wartawan itu identik dengan orang dewasa. Nah, karena saya mempunyai latar belakang kelas jurnalistik di Antara maka saya pikir nama ini bisa di adopsi ke lingkungan anak-anak ini. Ternyata setelah saya cari-cari nama di google, saya juga menemukan bahwa sudah ada pemakaian nama kelas Jurnalis Cilik, cuma mereka hanya belajar sehari, dua hari, dan kemudian menghilang. Tetapi dalam Kelas Jurnalis Cilik yang saya bentuk ini, (anak-anak itu) belajar selama empat bulan dan berpameran bersama.

A: Ide untuk membuat kelas ini sejak kapan?

I: Sebenarnya ide ini sudah ada sejak 2015 sewaktu saya mengikuti kelas Permata Photojournalist Grant (PPG). Dari situ (muncul) keinginan membuat kelas jurnalis untuk anak-anak di pesisir, cuma waktu itu karena saya masih berstatus pewarta aktif sehingga cukup sulit membagi waktu untuk mengajar sehingga saya memutuskan keluar dari (pekerjaan sebagai) pewarta tetap dan menjadi pekerja lepas yang kemudian tahun 2018 membangun Kelas Jurnalis Cilik (KJC) ini. Kita sering mengikuti banyak kursus fotografi tapi hanya di tujukan untuk orang dewasa.  Namun bagaimana jika fotografi didekatkan dengan anak-anak khususnya di pesisir yang terbatas secara akses informasi dan peralatan. Awalnya sulit sekali, dengan latar belakang anak-anak ini, bisa dikatakan kalau fotografi merupakan “sesuatu yang mahal” bagi mereka.

A: Memilih anak dan jurnalisme, apakah ada alasan tersendiri? Mengapa harus anak-anak?

I: Kita terlahir di pesisir dan yang mengenal karakter anak-anak pesisir adalah orang tua dari anak-anak pesisir itu sendiri. Kita di pesisir bisa melihat anak-anak tersebut terbentuk mental kenakalannya, pergaulannya seperti orang dewasa, menonton apa yang belum saatnya mereka harus nonton. Nah untuk membangun karakter mereka, agak sulit terbentuk di sekolah ya. Kita agak tergugah dan berpikir bagaimana membuat wadah khusus anak-anak agar bisa mencegah kenakalan anak-anak itu dari hal-hal yang mereka lihat setiap hari dalam lingkungan sosial mereka. Ditambah bahasa yang digunakan setiap hari, lingkungan keluarga, dan di umur mereka, di mana mereka harus melihat hal-hal yang belum sepantasnya dilihat.

@kelaspesisir

A: Jadi ini semacam ruang alternatif untuk mengalihkan mereka ke hal-hal yang membangun karakter mereka ke arah yang positif?

I: Di awal saya menemui kesulitan. Di wilayah ini memang sedikit sekali orang yang berprofesi dan tertarik dengan dunia jurnalistik, tetapi saya bersama teman-teman tetap membangun ruang tersebut. Bergerak dan berjalan saja secara organik dengan apa yang kami miliki, membuat silabus, mengajar berdasarkan pengalaman-pengalaman yang saya dapat dari Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), Permata Photojournalist Grant (PPG) yang di selenggarakan PannaFoto Institute. Cuma tantangannya adalah bagaimana silabus tersebut bisa relevan dengan dunia anak-anak karena tagline kita kan: “Belajar, Bermain, Membingkai Imaji.”

Tantangan lainnya adalah masyarakat di pesisir mempunyai pandangan dan pertanyaaan, mengapa anak-anak harus diajari menggunakan gadget untuk foto-foto dan menggunakan media sosial. Kita tidak mau melawan masyarakat dengan nilai, pengetahuan dan pandangan yang kita miliki juga, bisa juga karena masyarakat minim pengetahuan tentang pengetahuan jurnalistik itu seperti apa sehingga kita perlu membuktikannya di pameran foto pada setiap akhir kelas tersebut.

A: Nah tadi sempat bilang bahwa ada silabus mengajar yang relevan dengan mereka, bisa ceritakan seperti apa?

I: Kami memulai kelas angkatan pertama tahun 2018 dan bulan pertama kami mengajarkan teknik dasar penulisan, artinya yang mengikuti kelas sudah harus bisa menulis dan membaca. Karena di awal kita membangun mental, maka di setiap kelas akan ada presentasi dari setiap anak yang mengikuti kelas. Kemudian hal penting lainnya adalah bagaimana membangun etika dalam jurnalistik. Bagaimana anak-anak ini diberikan pengetahuan untuk beretika sebelum terjun ke lapangan ketika menghadapi orang-orang banyak, bagaimana sebelum memotret agar bisa membangun komunikasi dengan orang yang kita foto sehingga membangun interaksi.

Bulan kedua, kita mengajarkan bagaimana teknik fotografi jurnalistik. Itu juga tidak menggunakan kamera, kami menggunakan kardus yang di lubangi. Nah, ini salah satu metode yang unik dan seru karena membuat anak-anak semakin penasaran dan bertanya, “mengapa kardus harus dilubangi?”

Kemudian di bulan ketiga, anak-anak sudah memotret dan kemudian mempresentasikan karya-karya mereka. Di bulan keempat, dilakukan pameran bersama yang disaksikan masyarakat umum, akademisi, pewarta dan juga kalangan pemerintahan seperti walikota yang akhirnya membeli hasil karya anak-anak. Nah, di momen itulah pandangan miring dari masyarakat tentang kegiatan kita membuahkan hasil positif.

A: Area pesisir Cilincing identik dengan kawasan nelayan dengan kehidupan sosial ekonomi yang keras. Anak-anak terbiasa bekerja setelah pulang sekolah, terlalu sering bergaul dengan orang dewasa, dan terbiasa bicara dengan bahasa yang kasar. Nah, Ilyas jika di minta memilih, pilih mendidik mental atau fotografi yang jadi prioritas?

Suasana belajar di pesisir pantai @kelaspesisir

I: Kita lebih memilih mendidik mental anak-anak dulu. Kalau dalam ajaran agama, sebelum kami mengenal visi, terlebih dahulu harus tahu akhlak. Buat kami, etika yang penting untuk di bangun terlebih dahulu.

A: Anak-anak kan mudah bosan terhadap sesuatu, bagaimana strategi Ilyas menghadapi ini?

I: Kita memang punya metode jika mereka mulai terliat bosan dan cara menegur mereka tidak bisa seperti menegur kebanyakan anak-anak dengan latar belakang kenakalan mereka yang sudah terbentuk sehingga kita sering mengucapkan dan mengalihkan mereka dengan bersama-sama berkata “Jurnalis cilik…. ciluk ba…” dan itu jadi semacam pendorong untuk memberi semangat belajar anak-anak.

A: Jika setelah kelas, apa tindakan selanjutnya selain pameran foto? Apakah pernah berpikir membuat buku foto?

I: Angkatan pertama, gagasan kami memang hanya sampai pameran karya. Tahun 2019 sewaktu angkatan kedua, mulai banyak relawan pengajar dan akademisi. Dan sewaktu saya mengikuti Training of Trainer (ToT) bersama teman-teman pendidik fotografi, Yoppie Pieter mengusulkan agar karya anak-anak dibukukan dengan mengikuti workshop Buku Foto intensif bersama Teun & Sandra van der Heijden sewaktu Jakarta International Photo Festival (JIPFEST’19) sehingga terbitlah buku foto pertama kami dengan dengan judul “My World, My Eyes.”

A: Dengan KJC bisa membawa anak-anak ini bertemu orang-orang diluar lingkungan sosial mereka dan sempat di wawancarai Deddy Corbuzier dalam acara Hitam Putih, bagaimana respon anak-anak ini setelah mendapat pencapaian ini?

I: memang anak-anak yang kita pilih merupakan anak-anak yang aktif dan sudah punya cukup mental untuk tampil. Saya bilang kepada anak-anak yang tidak diikutsertakan, jika mau sampai pada titik pencapaian seperti itu maka terus belajar dan jangan berhenti memotret.

A: Nah setelah proses tersebut, bagaimana kepercayaan diri anak-anak dan perkembangan di sekolah?

I: Ada cerita-cerita menarik, seperti pendekatan menulis 5W + 1 H yang baru mau diajarkan disekolah, ada anak-anak yang berkata kalau dengan KJC dia sudah belajar ilmu tersebut sewaktu di KJC sehingga memudahkan dia untuk belajar dan juga mengerti.

A: Apakah ada momen kegagalan atau hal lain yang tidak bisa dilupakan oleh Ilyas selama mengasuh dan mengajar fotografi kepada anak-anak pesisir?

I: Angkatan kedua, sewaktu mau menggelar pameran, kita sempat berbenturan dengan pemerintah setempat. Kita diminta memindahkan lokasi pameran dengan alasan yang tidak kuat. Bagi saya, lokasi pameran merupakan rumah dan juga tempat belajar anak-anak, tapi pemerintah setempat merasa terusik karena kabar tersiar kalau walikota dan teman-teman jurnalis akan datang untuk melihat pameran kami. Agak ironi memang, karena persis di sebelah pameran kami, ada sampah yang berserakan.  

A: Dan kemudian pameran ditunda?

I: Tidak, saya kemudian melakukan negosiasi dengan pemerintah setempat untuk tetap menggelar pameran di lokasi tersebut. Sewaktu pagi-pagi, saya terkejut karena lokasi pameran kami sudah bersih dari sampah (tertawa).

A: Pernah memikirkan untuk berjejaring dengan disiplin ilmu lain di luar fotografi jurnalistik untuk kolaborasi? Misalnya dengan seni musik, seni pertunjukan atau fashion?

I: Kolaborasi sebenarnya sudah dilakukan ya, bersama kawan-kawan dari RUJAK Center for Urban Studies. Mereka melakukan ziarah utara bersama anak-anak dan melakukan pementasan tentang kota yang kemudian berpameran di Kota Tua. Bagi saya fotografi merupakan medium, jadi KJC sangat terbuka dengan kemungkinan kolaborasi di luar disiplin pengetahuan fotografi itu sendiri.

A: Dalam konteks keberpihakan fotografi untuk merespon fenomena sosial yang terjadi di Cilincing, apakah membangun KJC juga bagian dari proses merespon?

I: Kalo merespon, iya benar walaupun masih sedikit-sedikit saja. Kami melihat kalau pembangunan yang tidak merata, tidak berdampak positif ke masyarakat pesisir. Begitu banyak pabrik tapi belum ada kebijakan-kebijakan yang berkontribusi langsung dengan masyarakat pesisir. Dampak-dampak reklamasi yang harusnya cepat dalam mendapat hasil tangkapan dan juga dampak-dampak lainnya seperti limbah dan merkuri.

Menarik konteks fotografi jurnalistik jika masuk ke dunia anak-anak. Mereka punya cara berpikir sendiri dengan apa yang mereka lihat. Karena KJC merupakan subjek yang terdiri dari anak-anak, maka fokus kami ke bagaimana mereka memotret, memotret, dan memotret saja dulu dengan cara mereka masing-masing. Seperti ada anak yang mengikuti pekerjaan orangtua mereka, seperti pengumpul kerang hijau. Di Cilincing kan terkenal dengan budidaya kerang hijau. Jadi ada yang membeli di Cilincing dengan harga murah, tapi di luar sana harga kerang hijau menjadi sangat mahal, ini ada apa? (tertawa).

A: Bicara soal terbatasnya ruang bermain terhadap anak-anak, kita punya laut tapi disekat jadi anak-anak tidak ada akses ke pantai. Bisa diceritakan lebih dalam tentang ini?

Ilyas bersama anak-anak @kelas pesisir

I: Kami justru ingin membangun ingatan anak-anak bahwa dulu dan sekarang sudah berbeda. Sewaktu dulu kami kecil, keadaan laut yang bersih, ruang bermain di pantai dengan leluasa tanpa sekat, begitupun nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan. Tapi sekarang, laut sudah dibendung. Anak-anak jika ingin menikmati pesisir maka harus ke Ancol yang jelas tidak bisa dijangkau oleh anak-anak pesisir. Seolah-olah kalau sampah berserakan, masyarakat yang disalahkan.

A: Pernah berpikir untuk menjadikannya dalam cerita foto?

I: Sedang kami kembangkan sedikit demi sedikit tentang kehidupan masyarakat pesisir dan ruang bermain yang hilang. Masih kita simpan dan belum dibagikan. Waktu angkatan kedua lokasinya dekat dengan reklamasi yang membuat masyarakat pesisir terbendung, sementara di sebelah barat banyak berdiri pabrik-pabrik dan menjadi lokasi pembuangan limbah yang dampaknya ke masyarakat pesisir.

A: Nah, sempat melihat slogan KJC “Merekam Indonesia sejak Dini”. Bisa dijelaskan mengapa memakai slogan tersebut?

I: Ya itu jadi ide dasar kami. Belajar dari pengalaman pribadi, saya cukup menyesal tidak memiliki dokumentasi sejak kecil. Nah, kami pikir anak-anak sekarang sudah bisa merekam perubahan setelah mereka dewasa nanti, bisa ada arsip dokumentasi Cilincing sejak mereka kecil.

A: Apakah pernah terbesit untuk berhenti? Atau proses regenerasi untuk memimpin KJC?

S: Jujur itu hal yang sulit ya. Kita di sini juga kekurangan sumber daya manusia.  Sewaktu di angkatan pertama, kita bekerja sama dengan Karang Taruna, tapi mereka pikir proyek ini didanai, jadi mereka mundur perlahan. Kita juga tidak menyalahkan mereka karena memang mereka (Karang Taruna) dibentuk dari dana sedangkan di KJC kami menggunakan pendanaan sendiri dan bantuan teman-teman secara kolektif. Kami cukup kesulitan di bagian manajemen pengelolahan kegiatan karena memang masih sedikit orang yang ingin terlibat. Kita tidak punya funding apa-apa. Pameran kami dibantu oleh masyarakat dan teman-teman dari Bandung, seperti Wahyu Dian yang memikirkan konsep pameran dan proses percetakan.

A: Belajar atau bermain? Harus pilih salah satu!

S: Kalau saya pilih bermain lah (tertawa). Karena di sekolah mereka sudah belajar, masa’ di KJC juga mereka dipaksa belajar lagi seperti yang mereka dapat disekolah lagi. ***


Syamsudin Ilyas (36) lahir di pesisir utara Jakarta. Memiliki passion dan menyukai foto jurnalistik. Pernah menempuh pendidikan di Galeri Foto Jurnalistik Antara, terpilih sebagai salah satu peserta program Permata Photojournalist Grant (PPG), program yang didedikasikan bagi pengembangan pewarta foto muda Indonesia. Ia juga sempat mengikuti Training of Trainer (ToT), pelatihan untuk pengajar di bidang pendidkan fotografi dan rangkaian dari PPG.
guest
0 Komen
Inline Feedbacks
View all comments